Puisi: Suara Para Sai Maras (Karya Nana Riskhi Susanti)

Puisi "Suara Para Sai Maras" karya Nana Riskhi Susanti mengingatkan bahwa perubahan dimulai dari kesadaran, dan setiap langkah kecil menuju ...
Suara Para Sai Maras
(: Yudin Ainusi)

Subuh masih jauh
burung malam lari berebut cahaya pertama
melangitkan mimpi para pendendam

Raja-raja datang dan pergi
mengutuk nasibku jadi penghuni paling sunyi:
Papua
tanah yang dijanjikan
tanah yang ditinggalkan

Kamilah kaki-kaki hitam yang berjalan memunggungi matahari
memunggungi arah pendatang-pendatang malang
rimbunan bambu berjajar di bukit-bukit
menjelma doa pagi di sekarung sagu:
remah-remah rezeki paling purba itu
ke rumah-rumah ke perut anak-anak ke dapur para istri.

Matahari belum benar-benar tinggi
ketika huruf-huruf latin itu susah payah kami eja
dan angka-angka keparat itu makin memusingkan kepala
apakah sesudah itu akan kita dapati
gedung yang tak berpindah-pindah, guru-guru
yang selalu hadir dan ada, atau sisa-sisa buku dari kota?

Kami lebih abadi dari dongeng
dari noken-noken Sai Maras
yang membentang pulau
yang warna-warnanya di langit
menjelma kejora.

Dusun ini tak dapat kami tempuh dengan puisi
dengan gerimis pelengkap sepi
hanya dengan mata-mata nyalang
dan tangan mengepal
kebodohan ini bisa ditamatkan.

Sai Maras, 2 Mei 2014

Analisis Puisi:

Puisi "Suara Para Sai Maras" karya Nana Riskhi Susanti adalah karya sastra yang menghadirkan suara hati masyarakat Papua dengan kejujuran dan kekuatan emosi. Dengan gaya puitis yang khas, puisi ini menggambarkan realitas sosial, sejarah, dan harapan masyarakat di tanah Papua yang sering kali terabaikan.

Papua: Tanah yang Dijanjikan dan Ditinggalkan

Di baris:

"Raja-raja datang dan pergi / mengutuk nasibku jadi penghuni paling sunyi: / Papua / tanah yang dijanjikan / tanah yang ditinggalkan,"

Penyair menyuarakan kekecewaan atas sejarah panjang eksploitasi dan marginalisasi Papua. Frasa tanah yang dijanjikan menggambarkan harapan besar yang diberikan kepada Papua sebagai bagian dari Indonesia, namun tanah yang ditinggalkan mencerminkan kenyataan pahit berupa pengabaian dan ketimpangan pembangunan.

Puisi ini menjadi kritik tajam terhadap kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat Papua, yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan bangsa.

Kaki Hitam dan Sagu: Simbol Kehidupan dan Ketahanan

Baris:

"Kamilah kaki-kaki hitam yang berjalan memunggungi matahari / ... di sekarung sagu: remah-remah rezeki paling purba itu,"

Menggunakan simbol kaki hitam, penyair merujuk pada identitas masyarakat Papua yang sering bekerja keras dalam kondisi sulit. Sagu, sebagai makanan pokok, melambangkan ketahanan dan kehidupan masyarakat Papua yang bersandar pada kekayaan alam mereka.

Frasa remah-remah rezeki paling purba itu menunjukkan keterbatasan sumber daya yang dikelola oleh masyarakat lokal meskipun mereka hidup di tanah yang kaya. Ini juga menjadi sindiran halus terhadap ketimpangan pengelolaan sumber daya alam Papua oleh pihak luar.

Pendidikan yang Tertinggal

Berikut:

"Matahari belum benar-benar tinggi / ketika huruf-huruf latin itu susah payah kami eja / dan angka-angka keparat itu makin memusingkan kepala,"

Penyair menggambarkan kesenjangan dalam akses pendidikan di Papua. Frasa huruf-huruf latin dan angka-angka keparat menggambarkan kesulitan yang dialami masyarakat Papua dalam mengakses pendidikan formal.

Puisi ini menyuarakan kebutuhan mendesak akan pemerataan pendidikan di daerah-daerah terpencil. Dengan kritik yang subtil namun kuat, Nana Riskhi Susanti menyentuh isu yang sangat relevan: pendidikan sebagai kunci untuk mengentaskan kebodohan dan ketidakadilan sosial.

Noken Sai Maras: Simbol Warisan Budaya dan Identitas

Baris:

"Kami lebih abadi dari dongeng / dari noken-noken Sai Maras,"

Noken, tas tradisional khas Papua, menjadi simbol identitas budaya yang kuat. Noken Sai Maras mewakili warisan dan nilai-nilai leluhur yang menjadi penopang identitas masyarakat Papua.

Puisi ini mengingatkan pembaca bahwa meskipun modernisasi terus berkembang, nilai-nilai budaya lokal tetap menjadi kekuatan utama masyarakat Papua untuk bertahan menghadapi tantangan.

Harapan dan Perjuangan: Kritik yang Membakar Semangat

Di bagian penutup:

"Dusun ini tak dapat kami tempuh dengan puisi / dengan gerimis pelengkap sepi / hanya dengan mata-mata nyalang / dan tangan mengepal / kebodohan ini bisa ditamatkan,"

Penyair menyadari bahwa perubahan tidak bisa hanya bergantung pada kata-kata indah, tetapi membutuhkan tindakan nyata. Mata-mata nyalang dan tangan mengepal menggambarkan semangat perjuangan masyarakat Papua untuk melawan ketidakadilan.

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa harapan akan masa depan yang lebih baik tidak boleh hilang, tetapi harus disertai dengan usaha kolektif dan perjuangan bersama.

Relevansi dalam Konteks Sosial dan Budaya

Puisi ini memiliki relevansi yang sangat kuat dengan kondisi Papua saat ini. Isu-isu seperti ketimpangan pembangunan, kurangnya akses pendidikan, dan eksploitasi sumber daya alam sering kali menjadi perhatian nasional dan internasional.

Puisi "Suara Para Sai Maras" adalah seruan bagi seluruh elemen bangsa untuk lebih peduli terhadap Papua, tidak hanya sebagai wilayah geografis, tetapi sebagai bagian integral dari keberagaman Indonesia.

Puisi "Suara Para Sai Maras" karya Nana Riskhi Susanti adalah puisi yang menggambarkan realitas pahit masyarakat Papua dengan keindahan puitis. Melalui simbolisme yang kuat, puisi ini menyuarakan harapan, perjuangan, dan kecintaan terhadap tanah Papua.

Puisi ini tidak hanya menjadi ekspresi keindahan sastra, tetapi juga menjadi suara perlawanan terhadap ketidakadilan. Dengan membaca dan merenungkan puisi ini, kita diajak untuk lebih memahami Papua, tanah yang kaya akan budaya, sumber daya, dan semangat perjuangan masyarakatnya.

Sebagai karya sastra, puisi ini adalah pengingat bahwa perubahan dimulai dari kesadaran, dan setiap langkah kecil menuju keadilan adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik bagi Papua dan Indonesia.

"Puisi Nana Riskhi Susanti"
Puisi: Suara Para Sai Maras
Karya: Nana Riskhi Susanti

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.