Nyanyian Para Petani Jatiwangi (2)
Kalau hari menjelang senja
Analisis Puisi:
Puisi "Nyanyian Para Petani Jatiwangi" karya Ajip Rosidi merupakan karya yang menggambarkan kehidupan sehari-hari para petani di desa Jatiwangi, menyoroti tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi. Melalui liriknya yang mendalam dan reflektif, puisi ini menyajikan gambaran yang kuat tentang penderitaan, harapan, dan keputusasaan dalam kehidupan agraris. Dalam empat bagian yang berbeda, Ajip mengeksplorasi tema-tema utama seperti ketidakpastian, kesepian, dan ketidakamanan.
Ketidakpastian dan Ketakutan
Pada bagian pertama, Ajip menggambarkan ketidakpastian dan ketakutan yang melanda petani Jatiwangi. "Dari pagi hingga petang / Kulepas kerbauku sayang" mengindikasikan rutinitas harian yang berat, di mana para petani merasa tidak pasti mengenai masa depan dan hasil kerja mereka. Keberadaan "rumput dan lalang" serta "burung lapar" menggambarkan situasi yang tidak produktif dan penuh tantangan. Keterasingan dan ketidakmampuan untuk menjaga tanah dan kolam menjadi simbol ketidakberdayaan mereka. "Wahai, bukan peninggalan karuhun kusia-siakan" menunjukkan betapa pentingnya tanah bagi mereka, meskipun mereka merasa tertekan dan tidak mampu mengelolanya dengan baik.
Kehilangan Harapan dan Kesepian
Bagian kedua mengungkapkan rasa kehilangan harapan dan kesepian yang menyelimuti malam para petani. "Kalau malam telah datang / Tiada nyanyi bunda menidurkan" menunjukkan ketiadaan kebahagiaan dan kehangatan keluarga di malam hari. Tiada "suling, tiada pantun," serta ketiadaan hiburan seperti "kacapi" dan "kinanti" menggambarkan suasana malam yang sunyi dan suram. Ketidakpastian tentang masa depan dan harapan yang tidak jelas menyelimuti pikiran para petani, membuat mereka merasa terasing dan gelisah.
Kesepian dan Ketidakberdayaan
Bagian ketiga memperlihatkan kesepian dan ketidakberdayaan melalui dialog dengan bulan. "Wahai bulan, sunyinya sendirian" mencerminkan rasa kesepian yang mendalam. Bulan, yang seharusnya menjadi simbol keindahan dan harapan, justru menjadi lambang kesepian dan ketidakberdayaan bagi petani. "Alangkah muram" dan "Alangkah pelan" menunjukkan suasana hati yang penuh rasa takut dan cemas. Ajip menyoroti bagaimana keindahan alam sering kali tidak bisa mengatasi ketidakpastian dan kesulitan yang mereka alami.
Kegelisahan dan Harapan
Bagian terakhir puisi ini menyampaikan kegelisahan dan ketidakpastian mengenai masa depan. "Siapa itu melangkah berat dan ribut" menandakan adanya ancaman atau kekacauan yang mendekat. Pertanyaan retoris seperti "Berapa rumah musnah? Berapa yang mati?" mencerminkan rasa takut dan kecemasan tentang kemungkinan bencana atau kekacauan yang akan datang. Fajar yang "kembang merekah" dan "burung berkicau" di akhir bait memberikan sedikit rasa lega dan harapan di tengah kekacauan, menggambarkan bahwa meskipun tantangan dan kesulitan ada, ada harapan untuk perbaikan dan kebangkitan.
Puisi "Nyanyian Para Petani Jatiwangi" adalah puisi yang menyoroti realitas kehidupan para petani dengan kuat dan mendalam. Melalui lirik-liriknya, Ajip Rosidi menyampaikan kesulitan, kesepian, dan harapan yang dialami oleh petani Jatiwangi. Dengan menggunakan elemen alam dan suasana malam, Ajip memberikan gambaran yang nyata dan emosional tentang kondisi sosial dan psikologis para petani. Puisi ini adalah cerminan dari kehidupan agraris yang penuh tantangan dan ketidakpastian, serta keinginan untuk harapan dan perubahan.
Karya: Ajip Rosidi
Biodata Ajip Rosidi:
- Ajip Rosidi lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
- Ajip Rosidi meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 2020 (pada usia 82 tahun) di Magelang, Jawa Tengah.
- Ajip Rosidi adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.