Puisi: Nyanyian Para Petani Jatiwangi (Karya Ajip Rosidi)

Puisi "Nyanyian Para Petani Jatiwangi" memberikan gambaran yang nyata dan emosional tentang kondisi sosial dan psikologis para petani.
Nyanyian Para Petani Jatiwangi (1)

Dari pagi hingga petang
Kulepas kerbauku sayang
Entah ke mana kau menuju
Entah di mana kusembunyi.

Dari pagi hingga petang
Haram riang, kerja tak tentram
Subur sawah: rumput dan lalang
Burung lapar berputaran terbang.

Wahai, bukan peninggalan karuhun kusia-siakan
Tanah terbengkalai, kolam kering
Wahai, bukan tak mau sawah kukerjakan
Dalam hati penuh ketakutan.

Nyanyian Para Petani Jatiwangi (2)

Kalau hari menjelang senja
Lengang pematang, lengang rumah
Tiada anak mengandangkan ayam.

Kalau hari menjelang petang
Berat dan tiada harapan
Bayang-bayang lenyap di tikungan.

Kalau hari menjelang malam
Tiada lelaki merasa aman
Dalam rumah sendiri.

Kalau malam telah datang
Tiada nyanyi bunda menidurkan
Tiada lepas tangis bayi.

Kalau malam telah turun
Tiada suling, tiada pantun
Hanya gaang, hanya angin.

Kalammalam telah tiba
Tiada kacapi, tiada kinanti
Asmarandana dalam hari.

Kalau malam telah datang
Entah besok masih kujelang
Entah mentari kulihat lagi.

Nyanyian Para Petani Jatiwangi (3)

Wahai bulan, sunyinya sendirian
Tiada pemuda kan berpesan
Membisikkan kerinduan.

Wahai bulan, alangkah muram
Tiada perawan kan menyanyi
Menyampaikan bisik hati.

Wahai bulan, alangkah pelan
Muram dan sepi
Apa yang kau tatap?

Wahai bulan, alangkah lama
Was-was dan ngeri
Mentari yang kuharap.

Alangkah kusuka memandang bulan
Remang dan lembut
Tapi hati penuh takut.

Nyanyian Para Petani Jatiwangi (4)

Siapa itu melangkah berat dan ribut
Siapa lagi malam ini didatangi
Berapa rumah musnah? Berapa yang mati?

Siapa itu melangkah berat dan ribut
Siapa lagi malam ini didatangi?
Gilirankukah atau Madhapi?

Fajar kembang merekah
Duhai, pabila burung berkicau
alangkah lega hati.

1958

Sumber: Surat Cinta Enday Rasidin (1960)

Analisis Puisi:

Puisi "Nyanyian Para Petani Jatiwangi" karya Ajip Rosidi merupakan karya yang menggambarkan kehidupan sehari-hari para petani di desa Jatiwangi, menyoroti tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi. Melalui liriknya yang mendalam dan reflektif, puisi ini menyajikan gambaran yang kuat tentang penderitaan, harapan, dan keputusasaan dalam kehidupan agraris. Dalam empat bagian yang berbeda, Ajip mengeksplorasi tema-tema utama seperti ketidakpastian, kesepian, dan ketidakamanan.

Ketidakpastian dan Ketakutan

Pada bagian pertama, Ajip menggambarkan ketidakpastian dan ketakutan yang melanda petani Jatiwangi. "Dari pagi hingga petang / Kulepas kerbauku sayang" mengindikasikan rutinitas harian yang berat, di mana para petani merasa tidak pasti mengenai masa depan dan hasil kerja mereka. Keberadaan "rumput dan lalang" serta "burung lapar" menggambarkan situasi yang tidak produktif dan penuh tantangan. Keterasingan dan ketidakmampuan untuk menjaga tanah dan kolam menjadi simbol ketidakberdayaan mereka. "Wahai, bukan peninggalan karuhun kusia-siakan" menunjukkan betapa pentingnya tanah bagi mereka, meskipun mereka merasa tertekan dan tidak mampu mengelolanya dengan baik.

Kehilangan Harapan dan Kesepian

Bagian kedua mengungkapkan rasa kehilangan harapan dan kesepian yang menyelimuti malam para petani. "Kalau malam telah datang / Tiada nyanyi bunda menidurkan" menunjukkan ketiadaan kebahagiaan dan kehangatan keluarga di malam hari. Tiada "suling, tiada pantun," serta ketiadaan hiburan seperti "kacapi" dan "kinanti" menggambarkan suasana malam yang sunyi dan suram. Ketidakpastian tentang masa depan dan harapan yang tidak jelas menyelimuti pikiran para petani, membuat mereka merasa terasing dan gelisah.

Kesepian dan Ketidakberdayaan

Bagian ketiga memperlihatkan kesepian dan ketidakberdayaan melalui dialog dengan bulan. "Wahai bulan, sunyinya sendirian" mencerminkan rasa kesepian yang mendalam. Bulan, yang seharusnya menjadi simbol keindahan dan harapan, justru menjadi lambang kesepian dan ketidakberdayaan bagi petani. "Alangkah muram" dan "Alangkah pelan" menunjukkan suasana hati yang penuh rasa takut dan cemas. Ajip menyoroti bagaimana keindahan alam sering kali tidak bisa mengatasi ketidakpastian dan kesulitan yang mereka alami.

Kegelisahan dan Harapan

Bagian terakhir puisi ini menyampaikan kegelisahan dan ketidakpastian mengenai masa depan. "Siapa itu melangkah berat dan ribut" menandakan adanya ancaman atau kekacauan yang mendekat. Pertanyaan retoris seperti "Berapa rumah musnah? Berapa yang mati?" mencerminkan rasa takut dan kecemasan tentang kemungkinan bencana atau kekacauan yang akan datang. Fajar yang "kembang merekah" dan "burung berkicau" di akhir bait memberikan sedikit rasa lega dan harapan di tengah kekacauan, menggambarkan bahwa meskipun tantangan dan kesulitan ada, ada harapan untuk perbaikan dan kebangkitan.

Puisi "Nyanyian Para Petani Jatiwangi" adalah puisi yang menyoroti realitas kehidupan para petani dengan kuat dan mendalam. Melalui lirik-liriknya, Ajip Rosidi menyampaikan kesulitan, kesepian, dan harapan yang dialami oleh petani Jatiwangi. Dengan menggunakan elemen alam dan suasana malam, Ajip memberikan gambaran yang nyata dan emosional tentang kondisi sosial dan psikologis para petani. Puisi ini adalah cerminan dari kehidupan agraris yang penuh tantangan dan ketidakpastian, serta keinginan untuk harapan dan perubahan.

Puisi Ajip Rosidi
Puisi: Nyanyian Para Petani Jatiwangi
Karya: Ajip Rosidi

Biodata Ajip Rosidi:
  • Ajip Rosidi lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
  • Ajip Rosidi meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 2020 (pada usia 82 tahun) di Magelang, Jawa Tengah.
  • Ajip Rosidi adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.