Puisi: Kuburan Imperium (Karya Binhad Nurrohmat)

Puisi "Kuburan Imperium" karya Binhad Nurrohmat mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kejayaan dan kemunduran peradaban, serta bagaimana ...
Kuburan Imperium (1)

Raja agung dijunjung dan jatuh kemudian
Berduyun pergi bangsawan tanpa pulang
Trah imperium dikulum takdir kekalahan
Lalu senyap dalam babad dan reruntuhan

Kafilah berbalut jazirah menebarkan ajaran
Berjingkat firman ke tahta dan pedusunan
Tlatah pecah dan huruf kakawin tertawan
Keyakinan leluhur mengungsi ke seberang

Prasasti tak cuma lempeng batu kali di ladang
Titah dan darah kepada angin mengirim pesan
Burung tak membaca kitab dan cuma terbang
Tapi kicauan mengusik lelap batang ketapang

Jerami yang mudah terbakar adalah kekuasaan
Kelewang dan pertikaian membabat kesunyian
Di kedalaman kali tenggelam sisa akhir perang
Ikan-ikan berenang dan langit fana mengawang

Kuburan Imperium (2)

Berjaga toko roti di gerbang desa kemudian
Telah hengkang tahi kuda dan kereta perang
Tiang listrik menikam perut perkampungan
Deru mesin membuyarkan senyap pertapaan

Lama sudah tinta Prapanca resap di perabuan
Risalah gemilang menjelma lembaran kusam
Di warung-warung keluhuran silam melekang
Orang-orang tersekap hunusan masa depan

Di koran, pemuda desa Jambuwok tercacah logam
Darah melumasi gilingan tajam mesin adonan
Pabrik berkabung dan miris peluh buruh harian
Jam kerja tak lagi berduka seusai penguburan

Lesatan masa meninggalkan berdepa zaman
Barisan mobil bersideku di halaman petilasan
Setapak ditimbun pejal beton dan aspal jalan
Tiada kefanaan di bumi yang tak ditinggalkan

Kuburan Imperium (3)

Sekujur senja Brahu sendu kecoklatan
Membisu di sudut candi kikisan kejadian
Berhuni roh brahmana di celah retakan
Terkubur abu waktu di kolong ingatan

Kebun tebu menyerap serbuk mayat pangeran
Sepi dan rahasia tersimpan di lambung batang
Terbenam tilas permaisuri di bawah pematang
Bunyi tapak kaki ratu menjadi peri menawan

Akar perdu menusuk pori undakan persemadian
Di pucuk mempelam keluarga tekukur bersarang
Asap dupa lenyap dari udara setelah trah padam
Tak lagi duka melinang meratapi raja yang hilang

Kucuran pestisida dirayakan di sekujur persawahan
Tiada mantra hama di ladang dan pudar dari ingatan
Tikus dan serangga hancur terlindas di tengah jalan
Manusia dan alam berseteru tanpa juru keadilan


Kuburan Imperium (4)


Gerobak bakso bertahta di pinggiran Kolam Segaran
Para kawula bernaung langit mengail nasib dan ikan
Tiada lagi utusan dari seberang dijamu raja di tepian
Ranah agung Wijaya telah menjelma tlatah bawahan

Pagar kawat kolam terulur dari mesin pengetahuan
Mati laskar penjaga dan tak pernah lagi dilahirkan
Di sekujur dunia waktu melesapkan tilas kefanaan
Genangan air membenam peristiwa dan bungkam

Rumah berubin licin menjalar di permukiman
Berjaga televisi di ruang tamu tanpa terpejam
Telah redam suara petuah suci kaum begawan
Benda-benda datang dengan harum godaan

Ludruk kadang berkacak lagak pada malam
Panggung dari bilah papan dan bedak riasan
Di latar rumah tersaji kisah suci dan kejam
Kibasan sampur menguras perut celengan

Kuburan Imperium (5)

Raja-raja menjelma plang nama gang dan jalan
Kekuasaan tanpa tahta sepi di tepi perempatan
Kenangan agung jadi gurat cat di lembar logam
Tukang pos datang mengantar surat dan tagihan

Negara mengirim lempang jalan besar melintang
Tlatah terbelah membentang di utara dan selatan
Betapa riuh orang-orang berlintasan dari seberang
Toko sepatu memencilkan gerbang Wringin Lawang

Arca batu bertapa di latar rumah dan tepian jalan
Tiada asap dupa, mantra dan kembang pemujaan
Hampa membalur patung bersila bugil melajang
Patung pahatan tak mengiba nasib ke tatah logam

Bangkai tikus dan puntung mengapar di aspal hitam
Di bawah truk tak ada upacara kremasi dan kuburan
Telah mati para raja dan tak dikuburkan di pertokoan
Nama-nama gang dan jalan dibuat dari sisa kematian


Kuburan Imperium (6)


Di dinding kamar seorang bocah menggambar kapal selam
Teropong kapal tersembul melihat kenyataan di atas lautan
Tiada laut di Trowulan dan gores serbuk kapur terhapuskan
Sejarah adalah orang tua menatap jejak rongsokan kejadian

Di Lebak Jabung trah istana mengubur mayat ayam jantan
Kuburan lengang di dusun terkepung kerukan penambang
Truk-truk buncit batu galian melindas jalan duka pangeran
Kesedihan menjelma kubang hujan dan takdir sopir harian

Anak-anak dusun kemudian tanpa jangkrik dan belalang
Hujan terpencil dari keriangan kaki telanjang di halaman
Televisi menjadi kerajaan iklan dan kuburan kejadian
Bau mi instan merasuki mimpi hingga pelosok terdalam

Pasar-pasar desa menjual kenangan sayu dan harapan
Ideologi menghuni sekujur mini-market sehari 1 x 24 jam
Sawah-sawah sekarat di jantung dusun dan pelipis jalan
Sepotong roti tak bisa ditukar dengan beras segantang

Kuburan Imperium (7)

Lars kolonial Eropa melayap ke pedalaman
Tibalah Raffles di tlatah imperium terpendam
Akar alas jati abad XIX mencengkeram ingatan
Orang benua jauh mengejutkan binatang hutan

Hingga sekian mil terserak kisah sayup silam
Tampak waktu kelabu tersekap tidur panjang
Di kepala candi kawanan serangga bersarang
Ruang renta tertimbun perca tembikar kelam

Jejak utusan ratu asing telah raib di Trowulan
Wajah penjajah tak tergurat di gerabah kusam
Eropa menguburkan tahta para raja di selatan
Haru Raffles tersaput abu belulang kekuasaan

Serbuk kabut luruh di belukar dan ujung jalan
Sekujur Penanggungan tergeletak telanjang
Meluap dangdut dari radio di perkampungan
Pujangga Desawarnana telah lama berpulang


Kuburan Imperium (8)


Dewa di kakawin dipuja kawula dan tuan
Asap dupa merasuki udara dan pemujaan
Sudah berubah wajah kisah di Trowulan
Iga sapi panggang terkulai di meja makan

Tamu dari gurun tiba berbekal surga dan kalam
Kakawin lama berdiam di guci abu begawan
Gapura tampak purba dijaga roh kesunyian
Patung batu hilang dan tak lagi ditemukan

Langit tlatah dihuni bintang dan rembulan
Turun gerimis firman dari ubun ketinggian
Mayat-mayat diarak orang ke liang makam
Kamboja di bumi bermekaran di atas nisan

Jalan waktu entah lurus atau serupa gelang
Hujan di masa resi seperti hujan kemudian
Genangan hikayat menghuni kelok selokan
Mimpi tak bisa mati menjadi kabut harapan

Kuburan Imperium (9)

Laut telah sekarat dan tiada gema di ranah selatan
Kapal dan nakhoda di bilik sejarah tidur panjang
Trowulan tanpa junjungan sejak abadi kehancuran
Di belakang warung tergeletak bekas keagungan

Di ceruk bumi tertanam upeti dan jarahan perang
Trah raja tanpa buntelan harta di candi kematian
Bekas tahta terpendam menjelma puing warisan
Emas desa Kemasan dipulung kaum penambang

Bertandang orang desa ke sawah dan ladang
Hanyutlah air sumur di serabut sekujur badan
Terbang seikat padi menguning ke wuwungan
Arwah leluhur bersila di sepanjang pematang

Desa-desa merengkuh bayang diri yang hilang
Sehari sebakul nasi dan secobek sambal bawang
Dari lincak ada marak senja tenang dipandang
Semuanya pulang selain keagungan Trowulan

Sumber: Kompas (2 Desember 2017)

Analisis Puisi:

Puisi "Kuburan Imperium" karya Binhad Nurrohmat adalah sebuah karya yang menyajikan refleksi mendalam tentang kematian kekuasaan dan peradaban, serta bagaimana sejarah dan budaya suatu imperium akhirnya terbenam dalam kenangan yang pudar. Puisi ini, dengan gaya naratif yang kuat, mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kejayaan masa lalu hanya menjadi jejak samar yang terkubur di balik reruntuhan dan perubahan zaman.

Struktur dan Isi Puisi

Puisi ini dibagi menjadi sembilan bagian, masing-masing memberikan perspektif yang berbeda tentang bagaimana imperium-imperium besar di masa lalu akhirnya runtuh dan dilupakan. Setiap bagian mengangkat tema yang beragam, mulai dari kekuasaan, agama, perang, hingga dampak modernisasi.
  • Kuburan Imperium (1): Bagian pertama ini menggambarkan kejatuhan raja dan bangsawan, serta bagaimana kekuasaan yang dulu diagungkan kini hanya menjadi kenangan yang terkubur dalam reruntuhan. Binhad menggambarkan bagaimana imperium, yang dulu memerintah dengan kekuatan, kini hanya tersisa dalam bentuk kisah-kisah yang terlupakan dan tertelan oleh waktu.
  • Kuburan Imperium (2): Di bagian kedua, puisi ini mengangkat tema perubahan dan modernisasi. Kota-kota yang dulu menjadi pusat kekuasaan kini berubah menjadi tempat-tempat yang dipenuhi dengan teknologi dan industrialisasi. Masa lalu yang gemilang tergantikan oleh hiruk-pikuk kehidupan modern, di mana kenangan akan kejayaan silam perlahan-lahan memudar.
  • Kuburan Imperium (3): Bagian ini memfokuskan pada suasana sunyi yang menyelimuti situs-situs bersejarah. Di sini, Binhad menggambarkan bagaimana alam dan waktu perlahan-lahan mengikis peninggalan-peninggalan masa lalu, hingga yang tersisa hanya bayang-bayang dari kejayaan yang telah hilang. Tema ini diperkuat dengan citra candi, retakan, dan abu waktu yang terkubur di bawah ingatan.
  • Kuburan Imperium (4): Bagian keempat menghadirkan gambaran tentang perubahan yang terjadi di situs-situs sejarah, di mana kekuasaan dan upacara kerajaan telah tergantikan oleh kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Di sini, puisi ini memperlihatkan bagaimana perubahan zaman telah menghapus tradisi lama, menggantinya dengan budaya baru yang tidak lagi mengenal atau menghargai masa lalu.
  • Kuburan Imperium (5): Pada bagian kelima, Binhad mengangkat tema tentang transformasi kekuasaan dan bagaimana raja-raja dulu kini hanya menjadi nama jalan atau gang. Kekuasaan yang dulu diagungkan kini hanya menjadi penanda geografis yang kehilangan makna. Ini menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan dan betapa cepatnya kejayaan bisa berubah menjadi sesuatu yang terlupakan.
  • Kuburan Imperium (6): Bagian ini menggambarkan perubahan dalam kehidupan desa yang dulu berada di bawah naungan kekuasaan imperium. Dengan citra anak-anak yang bermain tanpa jangkrik dan belalang, puisi ini menunjukkan bagaimana kehidupan tradisional telah tergantikan oleh modernisasi, di mana bahkan kenangan akan masa lalu telah hilang.
  • Kuburan Imperium (7): Bagian ketujuh mengangkat kisah tentang kedatangan penjajah Eropa dan bagaimana mereka menemukan imperium yang telah lama tertidur dalam sejarah. Melalui citra hutan jati dan candi-candi yang terkubur, Binhad menunjukkan bagaimana kekuasaan asing mengubur kejayaan masa lalu, meninggalkan hanya reruntuhan dan kenangan yang samar.
  • Kuburan Imperium (8): Pada bagian kedelapan, puisi ini menghadirkan gambaran tentang perubahan religi dan spiritualitas di tlatah Trowulan, sebuah pusat kebudayaan masa lalu. Di sini, Binhad menunjukkan bagaimana tradisi lama telah tergantikan oleh pengaruh baru, baik dari dalam maupun luar. Meski begitu, ada kesan bahwa kenangan akan masa lalu tetap hidup dalam bentuk yang berbeda, seperti bayangan yang menghuni selokan sejarah.
  • Kuburan Imperium (9): Bagian terakhir dari puisi ini merangkum tema-tema sebelumnya dengan menggambarkan bagaimana imperium-imperium yang dulu besar dan berkuasa kini telah benar-benar terkubur. Di sini, Binhad menggunakan citra laut yang sekarat, kapal yang tertidur dalam sejarah, dan warung-warung yang menyembunyikan bekas keagungan, untuk menunjukkan betapa jauh masa lalu telah tertinggal.

Makna dan Relevansi

Puisi "Kuburan Imperium" tidak hanya berbicara tentang sejarah masa lalu, tetapi juga memberikan kritik terhadap kehidupan modern. Binhad Nurrohmat seolah mengingatkan kita bahwa kemajuan zaman dan modernisasi sering kali datang dengan harga yang mahal: kehilangan identitas, budaya, dan kenangan akan masa lalu. Kekuasaan, yang dulu begitu diagungkan, kini hanya menjadi bekas yang nyaris tak terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

Puisi ini juga menyoroti bagaimana manusia sering kali melupakan pelajaran dari sejarah, tergoda oleh kenyamanan dan kemudahan hidup modern. Namun, meski begitu, bayangan dari masa lalu tetap hidup dalam ingatan dan kadang-kadang muncul kembali, mengingatkan kita akan kejayaan yang pernah ada.

Puisi "Kuburan Imperium" adalah sebuah karya yang mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kejayaan dan kemunduran peradaban, serta bagaimana perubahan zaman dapat mengikis kenangan dan identitas budaya. Binhad Nurrohmat dengan cerdas menggabungkan citra sejarah dengan kritik sosial, menghasilkan puisi yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga dalam maknanya. Melalui puisi ini, kita diingatkan bahwa meskipun zaman terus berubah, jejak-jejak dari masa lalu akan selalu ada, tersembunyi di balik lapisan waktu.

Binhad Nurrohmat
Puisi: Kuburan Imperium

Biodata Binhad Nurrohmat:
Binhad Nurrohmat lahir pada tanggal 1 Januari 1976 di Lampung, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.