Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Asia Membaca (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Asia Membaca" karya Afrizal Malna bercerita tentang perjalanan panjang Asia, mulai dari masa ketika dewa-dewa masih bersemayam dalam ...
Asia Membaca

Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi dari negeri lain, setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon berdering.

Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan. Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.

Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan.

Asia.

1985

Sumber: Arsitektur Hujan (1995)

Analisis Puisi:

Puisi "Asia Membaca" karya Afrizal Malna merupakan salah satu karya penting dalam khasanah sastra Indonesia modern yang menyoroti identitas, sejarah, dan dinamika sosial politik di Asia. Melalui gaya khasnya yang penuh citraan konkret, potongan realitas, serta percampuran simbol-simbol budaya, Afrizal Malna menghadirkan refleksi tentang bagaimana Asia memandang dirinya sendiri di tengah perubahan zaman.

Tema

Tema utama puisi ini adalah identitas Asia dalam pusaran sejarah, modernitas, dan kekuatan global. Selain itu, puisi ini juga menyinggung tema perubahan budaya, kolonialisme, kapitalisme, dan pencarian makna di tengah dekonstruksi tradisi.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan panjang Asia, mulai dari masa ketika dewa-dewa masih bersemayam dalam tradisi, hingga kini ketika dunia modern menghadirkan televisi, minyak bumi, dan pasar global. Afrizal Malna menampilkan transformasi Asia dari masa tradisional menuju dunia modern yang penuh benturan kepentingan politik, ekonomi, dan budaya. Dalam perjalanan ini, Asia tetap memikul beban sejarah sekaligus berusaha menemukan kembali suaranya melalui bahasa, tulisan, dan ingatan leluhur.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah kritik terhadap proses modernisasi dan globalisasi yang sering kali mereduksi identitas Asia. Asia digambarkan sebagai wilayah yang kehilangan sebagian maknanya karena intervensi kekuatan asing, kapitalisme, dan simbol-simbol modern. Namun, di balik keterasingan itu, masih ada kesadaran untuk membaca ulang sejarah, tradisi, dan bahasa sebagai upaya menemukan jati diri. Puisi ini juga menekankan bahwa identitas sejati tidak semata hadir dari bendera baru atau pasar global, tetapi dari akar budaya dan bahasa yang lahir dari tanah leluhur.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis sekaligus penuh kritik. Ada rasa keterasingan ketika Asia dipenuhi simbol-simbol asing seperti “minyak bumi” dan “telepon berdering”. Namun di sisi lain, suasana juga penuh refleksi dan harapan, terutama ketika penyair menyinggung debur laut, burung-burung leluhur, dan bahasa sebagai tempat kembali.

Imaji

Afrizal Malna dikenal dengan kepiawaiannya menghadirkan imaji konkret yang bersifat visual, auditori, dan simbolik. Beberapa imaji dalam puisi ini antara lain:
  • Visual: “Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya”, “kapal-kapal membuka pasar” → melukiskan perubahan zaman dan pergerakan sejarah.
  • Auditori: “telepon berdering” → menegaskan kehadiran modernitas yang memutus ruang hening tradisional.
  • Simbolik: “dewa-dewa jadi batu dalam pesawat-pesawat TV”, “membaca yang tak boleh dibaca” → menyinggung perubahan sakralitas menjadi tontonan serta pembatasan kebebasan berpikir di Asia.

Majas

Puisi ini juga kaya akan penggunaan majas, di antaranya:
  • Metafora: “Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya” → menggambarkan perubahan tatanan dunia dan simbol tradisi yang hilang.
  • Personifikasi: “tanah berkaca-kaca” → tanah digambarkan memiliki emosi, menangis menyaksikan penderitaan sejarah.
  • Simbolisme: “kapal-kapal membuka pasar” → simbol kolonialisme dan kapitalisme global.
  • Repetisi: Pengulangan kata “Asia” di akhir beberapa bagian → menegaskan fokus puisi pada identitas Asia.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya membaca kembali sejarah dan tradisi Asia untuk memahami identitas yang sejati di tengah arus globalisasi. Puisi ini mengingatkan bahwa meskipun Asia telah mengalami banyak perubahan, dari kolonialisme hingga kapitalisme modern, namun akar budaya, bahasa, dan ingatan leluhur tetap menjadi sumber kekuatan.

Puisi "Asia Membaca" karya Afrizal Malna menghadirkan sebuah refleksi mendalam tentang identitas Asia yang terus bergulat dengan sejarah, modernitas, dan globalisasi. Dengan menghadirkan imaji konkret yang khas, Afrizal menyoroti bagaimana Asia berubah dari dunia dewa-dewa ke dunia pasar global, dari sakralitas menuju keterasingan. Namun di balik itu semua, puisi ini tetap menyimpan optimisme bahwa bahasa, tradisi, dan akar budaya akan menjadi sumber pencerahan untuk menemukan kembali jati diri Asia.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Asia Membaca
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.