Puisi: Burung Gagak di Negeri Batu (Karya Cucuk Espe)

Puisi "Burung Gagak di Negeri Batu" karya Cucuk Espe menggambarkan kegelapan dan kekerasan dalam suatu masyarakat yang terperangkap dalam siklus ...
Burung Gagak di Negeri Batu (1)

Ini kisah selaksa burung gagak yang terbang menyelinap di antara kabut. Paruhnya tajam selalu bergerak dan sorot mata nanar menatap matahari tak lagi bersinar. Sementara dedaun tak lagi disapa embun meski sekejap, terhuyung disapu angin timur. Terhempas dan nyaris hancur. Pesta gagak bukan pesta penggali kubur. Bukan! Lincah melompat di sela kelopak ranting, tergeletak di tanah hitam. Di sebelah kubangan lumpur, seekor gagak riuh menggelegak. Nafsunya kepalang memuncak membuat tidur tak nyenyak.

“Kawan, pesta sebenarnya baru mulai. Jangan ada yang ketinggalan lagi. Kibarkan sayap dan paruh tanda hidup makin liar. Hari ini tidak untuk nanti. Selama matahari enggan melukar hati, tancapkan kuku kalian. Dan buktikan bahwa kuku kaki kita lebih tajam dari kuku para manusia. Bahwa dendam nafsu kita lebih binatang dari keturunan Adam. Hari pembalasan hanya cerita kiasan yang membuat lemah impian. Mari berpesta”

Ribuan burung gagak tersentak. Datang mengorak dari sela langit menukik ke lereng bumi yang sempit. Itu tubuh tak lagi utuh. Kisruh semalam telah membakar api dendam. Manusia saling rajam. Tak bisa diam dan terus beradu kejam. Tombak, batu, panah berlompatan seperti perayaan penuh kembang nyala api. Nyawa harganya tak terlalu tinggi apalagi hukum penuh nurani. Membantai kawan sendiri adalah perilaku asasi demi harga diri.

Burung Gagak di Negeri Batu (2)

Kini, tubuh itu runtuh! Tanpa peluh sebelum fajar menyentuh, telungkup di pucuk rembulan sabit. Setangkai melati mekar malu-malu diterjang layu dan beku. Karena manusia kehilangan peradaban kalbu. Karena manusia kehilangan kesantunan seperti di Negeri Batu. Negeri tanpa hati dan keadilan terkubur di jantung bumi. Tadi pagi, sebutir peluru menembus anak kecil berwajah lugu. Tadi malam, tombak bambu menghujam lelaki sedingin pualam. Besoknya, puluhan bayi mati karena aborsi. Gunung-gunung menggugurkan jurangnya, puting beliung menyobek wajah-wajah berkabung.

“Di Negeri Batu, para gagak bersatu. Kelepak cakar menjalar di setiap sudut jalan. Hujan menumpuk dendam di kubangan, kebencian meringkuk diam di tikungan. Dimana rasa sedih itu? Dimana nurani lirih itu? Dimana putih kebaikan itu? Dimana! Seekor gagak terbang rendah hinggap di tubuh lunglai-luluh. Menjelma menjadi siapa saja di keramaian nestapa. Gagak itu duduk di meja makan. Gagak itu beringas di jalanan. Gagak itu menikam kerabat sehati. Mati. Gagak itu berdiri tegak di puncak menara api. Gagak itu merampas tangan dan kaki kita.”

Lihatlah burung gagak di Negeri Batu, berpesta tanpa ragu. Menuang minuman di meja kalbu. Kita hanya diam membeku. Hingga gagak liar itu bertengger di sudut kelopak hati. Berhembus angin timur menyobek kemanusiaan kita.

Jombang, Januari 2011

Analisis Puisi:

Puisi "Burung Gagak di Negeri Batu" karya Cucuk Espe adalah sebuah karya yang menggambarkan kegelapan dan kekerasan dalam suatu masyarakat yang terperangkap dalam siklus kebencian dan kehilangan. Dengan menggunakan gambaran burung gagak sebagai simbol, penyair menggambarkan kengerian dan kekejaman manusia dalam menghadapi konflik dan kehancuran.

Tema dan Makna

  • Kegelapan dan Kekerasan: Tema utama puisi ini adalah kegelapan dan kekerasan yang merajalela di tengah-tengah masyarakat. Gambaran burung gagak yang menggelar pesta kekerasan mencerminkan keadaan yang suram dan penuh kebencian.
  • Kehilangan Peradaban: Penyair menggambarkan kehilangan peradaban dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini tercermin dari adegan kekerasan tanpa ampun dan pembantaian yang dilakukan oleh manusia terhadap sesama manusia.
  • Simbolisme Burung Gagak: Burung gagak digunakan sebagai simbol kegelapan, kehancuran, dan kebencian. Kehadirannya dalam puisi menciptakan gambaran yang menakutkan dan menyedihkan tentang keadaan masyarakat yang terperangkap dalam siklus kekerasan.

Struktur dan Gaya Bahasa

  • Imaji Kuat: Penyair menggunakan imaji yang kuat dan mencekam untuk menggambarkan keadaan yang suram dan mencekam dalam masyarakat. Misalnya, gambaran burung gagak yang berpesta kekerasan menciptakan gambaran yang menakutkan dan menggelisahkan.
  • Bahasa yang Intens: Bahasa yang digunakan dalam puisi ini sangat intens dan penuh emosi, menciptakan suasana yang tegang dan mencekam bagi pembaca.

Pesan Moral

Pesan moral yang dapat diambil dari puisi ini adalah tentang bahaya kekerasan dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan dampak destruktif dari kebencian dan kekerasan, serta pentingnya mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.

Puisi "Burung Gagak di Negeri Batu" karya Cucuk Espe adalah karya yang menggambarkan kegelapan dan kekerasan dalam masyarakat dengan menggunakan gambaran burung gagak sebagai simbol. Melalui imaji yang kuat dan bahasa yang intens, puisi ini menggambarkan kengerian dan kekejaman manusia dalam menghadapi konflik dan kehancuran. Pesan moral dari puisi ini adalah tentang bahaya kekerasan dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat, serta pentingnya mempertahankan perdamaian dan kebaikan dalam kehidupan.

Puisi: Burung Gagak di Negeri Batu
Puisi: Burung Gagak di Negeri Batu
Karya: Cucuk Espe
© Sepenuhnya. All rights reserved.