Puisi: Wasil (Karya Ajip Rosidi)

Puisi "Wasil" karya Ajip Rosidi adalah sebuah refleksi mendalam tentang penderitaan, kehilangan, dan pencarian makna dalam hidup.
Wasil (1)

Api merah malam terang karenanya
menjilat habis rumah dan suaminya saluki
Wasil ingat anaknya lelap di kamar
tinggal abu dan puing-puing api.

Wasil kehilangan semua
berangkat - kapan kembali dan ke mana.


Wasil (2)

Kota! Hidupnya melingkar-lingkar di satu pusaran
ada teman karib tetangga sedesa Sinah dan Wasti
Wasil duduk-duduk di warung datang lelaki padanya
'orang baru matanya begitu bening
dan tubuh segar dadanya keras dan besar'
Wasil dilandanya dan ia mengalah saja.

O, saluki suami pertama cintanya
dia telah berangkat mati dia lelaki kecintaan
kenangan Wasil rumah kebun sawah mereka
dan anaknya seorang terbakar di kamar.

Wasil (3)

Kota! Banyak lelaki dan begitu ganas
mereka pergi mengucap 'haram jadah!'
dengan rel dingin di pantatnya Wasil menunggu
buram malam dan gerimis pun turun.

Masih dingin rel dan besi kereta api.
Masih dingin dadanya belum dibuka.

Habislah hidupnya dan ke mana ia menyuruk
tubuh reot dan lelaki tak mau lagi padanya.
Habislah hidupnya dan akan ke mana ia terlempar
Wasil kehilangan pasaran dan ia mengalah saja.

-----------

Ia bertengger pada dahan
alam lepas burung terbang.

Ia tersenyum pada bulan
langit biru mengerdip bintang.

Segala mendengar pada nyanyinya
segala senyap segala tenang.

Ia pun dahan ia pun burung
merpati mengepak dalam sarang.

Sumber: Cari Muatan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Wasil" karya Ajip Rosidi adalah sebuah karya yang menggambarkan kehidupan penuh penderitaan dan keruntuhan yang dialami seorang wanita bernama Wasil. Melalui empat bagian yang penuh emosi dan simbolisme, puisi ini menyentuh tema kehilangan, kerentanan, dan pencarian makna hidup dalam konteks yang keras dan tidak bersahabat.

Kebakaran dan Kehilangan

Pada bagian pertama, puisi ini memulai narasi dengan suasana tragis. "Api merah malam terang karenanya" menggambarkan kebakaran yang melahap rumah dan suami Wasil. Api yang "menjilat habis" tidak hanya menghancurkan fisik, tetapi juga kehidupan emosional dan keluarga Wasil. Dalam kekacauan tersebut, Wasil harus menghadapi kenyataan pahit: kehilangan rumah, suami, dan anak yang terbakar di kamar. Sisa-sisa kehidupan yang ada hanyalah "abu dan puing-puing api." Dengan tragedi ini, Wasil terpaksa meninggalkan segala sesuatu yang dikenal dan melanjutkan hidup dalam ketidakpastian, tanpa mengetahui kapan atau ke mana ia akan kembali.

Kehidupan di Kota dan Pengkhianatan

Bagian kedua mengalihkan fokus ke kehidupan Wasil di kota. "Kota! Hidupnya melingkar-lingkar di satu pusaran" mencerminkan keterjebakan Wasil dalam kehidupan yang tidak memuaskan dan penuh kesulitan. Interaksi dengan "orang baru" yang digambarkan dengan "mata bening" dan "tubuh segar" menunjukkan bahwa Wasil mencoba mengisi kekosongan emosionalnya setelah kehilangan suami pertama dan keluarga. Meskipun ia mengalah pada godaan dan relasi baru, itu hanya menjadi pelarian sementara dari kesedihan mendalam dan kehampaan hidup yang ia rasakan.

Keterasingan dan Ketidakberdayaan

Pada bagian ketiga, puisi ini menyoroti perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan Wasil. Kota yang digambarkan sebagai tempat penuh dengan lelaki ganas dan rel dingin kereta api mencerminkan kehidupan Wasil yang semakin dingin dan suram. Dalam kondisi dingin dan malam yang buram, Wasil merasa kehilangan pasaran dan dihargai, dengan hidupnya yang habis tanpa arah yang jelas. Perasaan terasing dan keputusasaan semakin menambah rasa sakit yang ia rasakan, dan ia hanya bisa menyerah pada keadaan.

Penutup yang Mencerahkan

Bagian terakhir memberikan kontras yang menarik dengan ketiga bagian sebelumnya. Wasil digambarkan "bertengger pada dahan" dan tersenyum pada bulan, dengan suasana yang tenang dan penuh kedamaian. Di sini, Wasil berubah menjadi bagian dari alam, seperti burung dan dahan yang "merpati mengepak dalam sarang." Penutup ini memberikan gambaran simbolis tentang pembebasan dan ketenangan yang diperoleh Wasil setelah mengalami berbagai kesulitan. Meskipun dia telah melalui banyak penderitaan, akhirnya ia menemukan tempatnya dalam harmoni dengan alam, mengakhiri puisi dengan nada yang lebih damai.

Puisi "Wasil" karya Ajip Rosidi adalah sebuah refleksi mendalam tentang penderitaan, kehilangan, dan pencarian makna dalam hidup. Melalui narasi yang penuh dengan simbolisme dan emosi, puisi ini menggambarkan perjalanan hidup seorang wanita yang mengalami tragedi besar dan perjuangan di tengah kehidupan yang keras. Meskipun awalnya penuh dengan kesedihan dan ketidakberdayaan, penutup puisi memberikan harapan dan kedamaian yang dicapai Wasil melalui kesederhanaan dan kedekatan dengan alam.

Puisi Ajip Rosidi
Puisi: Wasil
Karya: Ajip Rosidi

Biodata Ajip Rosidi:
  • Ajip Rosidi lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
  • Ajip Rosidi meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 2020 (pada usia 82 tahun) di Magelang, Jawa Tengah.
  • Ajip Rosidi adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.