Puisi: Tinoor (Karya Agam Wispi)

Puisi "Tinoor" karya Agam Wispi menggambarkan kesunyian dan kehilangan yang dirasakan oleh para perempuan yang ditinggalkan oleh para lelaki, baik ...
Tinoor

Para lelaki sudah pergi
atau mati
yang kembali ketinggalan hati
di tanah seberang di kota ramai
pulangnya tak berarti

Kami yang meromok tinggal di sini
tak lagi bisa bersedih
dulu dari jaman kompeni
para lelaki sudah pergi
atau mati

Maka minumlah saguer, abang
selagi singgah di sini dan gunung akan didaki
Pandanglah lembah menjemput lautan
sebelum Menado ditinggalkan, mari bersenang
Mari bersenang – walau dilupakan.

Tondano, 8 April 1964

Analisis Puisi:

Puisi "Tinoor" karya Agam Wispi menggambarkan kesunyian dan kehilangan yang dirasakan oleh para perempuan yang ditinggalkan oleh para lelaki, baik karena pergi berperang atau mati dalam perjuangan. Melalui narasi yang melankolis, Wispi menyajikan realitas sosial dari mereka yang tetap tinggal di tempat asal—yang menjalani hidup dengan kesepian dan kepasrahan, tetapi juga mencoba menemukan cara untuk merayakan hidup dalam kesendirian mereka.

Tema Kehilangan dan Kepasrahan

Puisi ini berkisah tentang para lelaki yang telah pergi dari desa Tinoor, sebuah wilayah di Minahasa, Sulawesi Utara. Kalimat "Para lelaki sudah pergi atau mati" diulang dua kali dalam puisi ini, menunjukkan tema utama puisi ini adalah kehilangan. Para perempuan yang ditinggalkan di desa harus menghadapi kenyataan bahwa lelaki yang mereka cintai mungkin tidak akan pernah kembali, dan jika mereka kembali, mereka "ketinggalan hati"—tidak lagi utuh, baik secara fisik maupun emosional.

Kehilangan ini bersifat kolektif, menunjukkan bahwa bukan hanya satu keluarga atau individu yang mengalami derita, tetapi seluruh komunitas. Para lelaki yang pergi, baik karena perang atau pekerjaan di luar desa, telah memutuskan ikatan dengan tanah asal mereka. Kehidupan di kota besar atau tanah seberang telah mengubah mereka, membuat mereka merasa asing ketika kembali.

Tradisi dan Kehidupan yang Terlupakan

Para perempuan yang tinggal di desa "tak lagi bisa bersedih." Wispi menggambarkan bahwa kesedihan bukan lagi pilihan bagi mereka karena hidup terus berlanjut. Dari masa penjajahan Belanda hingga periode modern, lelaki selalu pergi, meninggalkan perempuan di belakang. Ada jejak panjang sejarah yang terekam dalam ungkapan "dulu dari jaman kompeni," yang menunjukkan bahwa nasib ini telah berlangsung lama dan terus berulang.

Kehidupan di desa dipenuhi dengan tradisi yang tetap terjaga meskipun mereka dilupakan oleh dunia luar. Salah satu simbol tradisi yang diangkat dalam puisi ini adalah saguer, minuman khas Minahasa yang dibuat dari getah pohon enau. "Maka minumlah saguer, abang," adalah undangan untuk menikmati kehidupan sederhana di desa, meskipun situasi yang ada penuh dengan kepahitan. Saguer di sini bukan hanya minuman biasa, tetapi lambang dari perayaan hidup dan kebersamaan yang tersisa.

Konflik Emosional: Antara Kesedihan dan Kesenangan

Meskipun puisi ini mengangkat tema kehilangan, Wispi juga memperlihatkan adanya upaya untuk menemukan kebahagiaan dalam situasi sulit. Pada baris "Mari bersenang – walau dilupakan," terdapat paradoks: meskipun mereka dilupakan oleh dunia luar dan oleh para lelaki yang pergi, orang-orang yang tinggal di desa mencoba untuk merayakan hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka menerima kenyataan bahwa mereka telah ditinggalkan, tetapi tetap berusaha untuk menemukan kebahagiaan meskipun situasi tidak menguntungkan.

Ada juga kontras yang jelas antara pandangan terhadap lautan yang terbentang di kejauhan, yang melambangkan dunia luar, dan gunung yang akan didaki, yang melambangkan tantangan yang ada di depan. Gunung dalam puisi ini bisa diartikan sebagai simbol tantangan hidup yang terus dihadapi, sementara lautan adalah simbol kebebasan yang telah hilang dari kehidupan mereka.

Simbolisme Gunung dan Lembah

Dalam kalimat "Pandanglah lembah menjemput lautan sebelum Menado ditinggalkan, mari bersenang," terdapat simbolisme alam yang kuat. Lembah dan lautan dapat diartikan sebagai batas antara tempat asal dan dunia luar, atau antara masa lalu dan masa depan. Lembah mungkin melambangkan kehidupan yang tenang namun terbatas di desa, sedangkan lautan adalah simbol dari kehidupan yang lebih luas, penuh peluang tetapi juga kehilangan.

Sementara itu, gunung yang akan didaki mengisyaratkan perjalanan yang masih harus ditempuh. Meskipun para lelaki telah pergi atau mati, kehidupan harus terus berjalan. Gunung adalah tantangan, tetapi juga harapan bahwa setelah mendaki, ada sesuatu yang lebih besar atau lebih bermakna yang bisa ditemukan.

Puisi "Tinoor" karya Agam Wispi adalah meditasi mendalam tentang kehilangan, kesendirian, dan upaya untuk menemukan makna dalam hidup yang keras dan penuh keterasingan. Wispi menggambarkan kehidupan perempuan dan komunitas yang ditinggalkan oleh para lelaki, serta bagaimana mereka mencoba untuk menjalani kehidupan tanpa terus-menerus tenggelam dalam kesedihan.

Puisi ini mencerminkan kondisi sosial dan emosional dari sebuah komunitas yang terpinggirkan, tetapi tetap berusaha merayakan kehidupan dengan cara yang sederhana. Tradisi, alam, dan sejarah berperan penting dalam menjaga rasa identitas dan kebersamaan di tengah-tengah dunia yang terus bergerak dan meninggalkan mereka. Agam Wispi dengan cemerlang menangkap paradoks antara kesedihan dan kebahagiaan, antara kehilangan dan kebebasan, dalam sebuah puisi yang melankolis namun penuh kekuatan.

Agam Wispi
Puisi: Tinoor
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.