Analisis Puisi:
Puisi "Wabah" karya Dorothea Rosa Herliany adalah sebuah karya yang mendalam dan intens, menggambarkan tema penderitaan, kekosongan, dan kekacauan melalui bahasa yang penuh dengan simbolisme dan imageri yang kuat. Puisi ini menyoroti pengalaman mendalam dari kesengsaraan dan penyesalan dengan penekanan pada keputusasaan dan kehilangan.
- Damar Melati dan Gemerincing: Puisi dimulai dengan gambaran tentang "selamping pundakmu damar melati" dan "gemerincing merah saga mata tembaga," yang menyiratkan keindahan yang redup dan memudar. Damar melati, sebagai simbol keharuman dan keindahan, dikontraskan dengan kemerahan dan pudar, menunjukkan bahwa bahkan keindahan pun tidak dapat bertahan lama di tengah penderitaan dan kekacauan.
- Santa Maria dan Benteng: Pengulangan nama "Santa Maria" dan pertanyaan tentang benteng yang hilang mencerminkan pencarian perlindungan dan keamanan dalam kekacauan. Santa Maria, sebagai simbol kesucian dan perlindungan, menunjukkan keputusasaan dan keresahan dalam mencari tempat perlindungan dari penderitaan dan wabah.
- Nyala Biru dan Lorong Sunyi: Deskripsi tentang "nyala biru dimar-dimar gaib sepanjang malam" dan "lorong sunyi sepanjang pikiranku" menciptakan suasana yang suram dan misterius. Nyala biru yang gaib mencerminkan kegelapan dan kesulitan yang tak terlihat, sementara lorong sunyi menggambarkan rasa kesepian dan kekosongan yang mendalam.
- Jubah-Jubah Kosong dan Sepatu Angin: Gambaran tentang "jubah-jubah kosong dan sepatu angin" yang mengalir dari pintu-pintu yang tak terbuka menunjukkan kekosongan dan kehampaan. Jubah-jubah kosong bisa melambangkan kehilangan identitas atau makna, sementara sepatu angin menggambarkan pergerakan yang tidak nyata atau tidak berdampak, menambah rasa kehilangan dan kekacauan.
- Api, Tubuh-Tubuh Sengsara, dan Kereta Berderap: Pertanyaan tentang "kenapa pijar api membakar dan mengabukan tubuh-tubuh sengsara itu?" dan gambaran tentang "kereta berderap tanpa suara" mencerminkan penderitaan yang tak tertangkap oleh suara dan penglihatan biasa. Api yang membakar tubuh-tubuh sengsara menunjukkan penderitaan yang mendalam, sementara kereta yang berderap tanpa suara melambangkan perjalanan ke arah yang tidak pasti atau kesulitan yang terus berlanjut.
- Ibu, Rahim Sejarah, dan Perekosaan Jaman: Frasa "ibu yang memberi aku rahim bagi sejarah" dan "memintaku diperkosa jaman yang sombong" menunjukkan bagaimana individu terjebak dalam sejarah dan waktu yang tidak bersahabat. Ibu sebagai simbol asal dan sejarah, serta perekosaan jaman, menggambarkan bagaimana individu sering kali menjadi korban kekacauan sejarah dan sosial.
- Jerit Penghabisan dan Kekosongan: Penutup puisi dengan "kubisikkan jerit penghabisan" dan "aku pulang. mencari jejak kekosongan" mencerminkan keputusasaan dan rasa kehilangan akhir. Jerit penghabisan menggambarkan kesakitan yang mendalam dan tidak berujung, sementara pencarian jejak kekosongan menunjukkan usaha untuk menemukan makna atau kepulihan di tengah kekosongan yang melingkupi.
Puisi "Wabah" karya Dorothea Rosa Herliany menggambarkan tema penderitaan, kekosongan, dan kekacauan dengan bahasa yang simbolis dan imajinatif. Melalui gambaran yang kuat tentang keindahan yang memudar, pencarian perlindungan, kekosongan, dan penderitaan yang mendalam, puisi ini menawarkan pandangan yang mendalam tentang kondisi kemanusiaan dalam menghadapi kesulitan dan kehampaan. Dorothea menggunakan simbolisme religius dan imageri yang intens untuk menyampaikan rasa keputusasaan dan kehilangan yang mendalam, menjadikan puisi ini sebuah refleksi yang kuat tentang penderitaan dan pencarian makna dalam hidup.

Puisi: Wabah
Karya: Dorothea Rosa Herliany
Biodata Dorothea Rosa Herliany:
- Dorothea Rosa Herliany lahir pada tanggal 20 Oktober 1963 di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Ia adalah seorang penulis (puisi, cerita pendek, esai, dan novel) yang produktif.
- Dorothea sudah menulis sejak tahun 1985 dan mengirim tulisannya ke berbagai majalah dan surat kabar, antaranya: Horison, Basis, Kompas, Media Indonesia, Sarinah, Suara Pembaharuan, Mutiara, Citra Yogya, Dewan Sastra (Malaysia), Kalam, Republika, Pelita, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, dan lain sebagainya.