Puisi: Membaca Bahasa Angin (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Membaca Bahasa Angin" karya Diah Hadaning mengajak pembaca untuk merenung dan menafsirkan pesan yang tersembunyi dalam angin dan waktu.
Membaca Bahasa Angin

Mengusung lakon kuno
lewat bayang rembulan
Dasamuka tak gugur jadi kerak di angan
seorang pejalan kurun henti di gapura Tulungagung
saat musim simpan prahara
saat kota penuh umbul-umbul dan bendera.

Beburung lintasi sunyi pagi dibiarkan
geliat jiwa simpan nada dibiarkan
deru deram kota raya memanggil dibiarkan 
angin bisikkan penjajahan baru
langit hadirkan perlambang-lambang
pagi retak matahari suguhkan lakon baru
ada yang tercabik di punggung kota
jadi mozaik tanpa warna
siang menghilang setelah memanggang kota
umbul-umbul putih runduk sendiri.

Malam tumbang tanpa suluk dalang
suluk kedalam belencong merasuk
membakar tangkai gunungan
diam-diam sang pejalan membaca angin
diam-diam menyimak pesannya dingin
: baca saja gurit "ho no co ro ko"

Tulungagung, 2004

Sumber: Perempuan yang Mencari (700 Puisi Pilihan, 2010)

Analisis Puisi:

Puisi "Membaca Bahasa Angin" karya Diah Hadaning adalah karya yang mengajak pembaca untuk merenung dan menafsirkan pesan yang tersembunyi dalam angin dan waktu. Dengan imaji yang kuat dan simbolik, puisi ini mengeksplorasi tema-tema sejarah, kebudayaan, dan perubahan sosial melalui lensa alam dan lanskap perkotaan.

Tema dan Simbolisme

Puisi ini dimulai dengan gambaran "Mengusung lakon kuno / lewat bayang rembulan" yang mencerminkan hubungan antara sejarah dan alam. Lakon kuno dan bayang rembulan mengaitkan pembaca pada tradisi dan kisah masa lalu yang terus berlanjut dalam konteks masa kini. Dasamuka—tokoh dari epik Ramayana yang dikenal dengan banyak wajah—digunakan sebagai simbol ketidakstabilan dan perubahan dalam pemikiran atau identitas.

Perubahan dan Kontras

Di bagian awal puisi, terdapat "seorang pejalan kurun henti di gapura Tulungagung" yang menunjukkan sebuah tempat tertentu yang mungkin merupakan titik penting dalam perjalanan atau perubahan. "Musim simpan prahara" dan "kota penuh umbul-umbul dan bendera" menggambarkan transisi antara masa-masa tenang dan konflik, serta nuansa perayaan dan propaganda dalam masyarakat.

Kesunyian dan Pesan

Puisi ini melanjutkan dengan "Beburung lintasi sunyi pagi dibiarkan" dan "deru deram kota raya memanggil dibiarkan" yang menunjukkan kontras antara keheningan alam dan hiruk-pikuk kota. "Angin bisikkan penjajahan baru" dan "langit hadirkan perlambang-lambang" menggambarkan pesan-pesan tersembunyi dalam fenomena alam yang mungkin mencerminkan kekuatan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Mozaik Perubahan

Puisi ini juga menyentuh aspek visual dengan "siang menghilang setelah memanggang kota / umbul-umbul putih runduk sendiri", yang menunjukkan perubahan yang dramatis dalam lanskap kota dan simbolisme dari umbul-umbul yang merunduk. "Malam tumbang tanpa suluk dalang" menunjukkan kekosongan dan kehilangan dalam ritual atau tradisi malam.

Penutup dan Pesan

Di akhir puisi, ada "diam-diam sang pejalan membaca angin" dan "diam-diam menyimak pesannya dingin" yang menunjukkan kepekaan dan introspeksi dalam menghadapi perubahan. "Baca saja gurit 'ho no co ro ko'" adalah referensi kepada teks atau pesan tersembunyi yang harus ditafsirkan dengan hati-hati, mengingatkan pembaca untuk mencari makna yang lebih dalam dalam kehidupan sehari-hari.

Puisi "Membaca Bahasa Angin" karya Diah Hadaning adalah refleksi tentang bagaimana sejarah, budaya, dan perubahan sosial dapat dipahami melalui fenomena alam dan lanskap perkotaan. Dengan imaji yang kuat dan simbolisme yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pesan-pesan tersembunyi dalam angin dan waktu, serta untuk mencari makna yang lebih dalam di balik perubahan dan pengalaman sehari-hari.

"Puisi: Membaca Bahasa Angin (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Membaca Bahasa Angin
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.