Puisi: Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar" karya Taufiq Ismail mengeksplorasi ketidakselarasan antara norma-norma etika dan praktik ..
Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar

Adu hewan, katanya
Dilarang oleh etika, agama, akal waras
Dan peraturan pemerintah

Itu 'kan di zaman Belanda. Kuno

Adu manusia, katanya
Bahkan tontonan pembantaian manusia
Dibolehkan oleh etika, agama, akal waras
Dan peraturan pemerintah

Ini 'kan di zaman merdeka. Pancasila

Aku bingung
Ini bagaimana

Aku ingin bertanya
Pada Pak Bismar
Tapi lupa nomor teleponnya.

1989

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000)

Analisis Puisi:

Puisi "Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar" karya Taufiq Ismail menawarkan refleksi kritis tentang norma, etika, dan kekacauan dalam sistem nilai masyarakat. Melalui bahasa yang tajam dan sarkastik, Taufiq Ismail mengeksplorasi ketidakselarasan antara nilai-nilai moral dan praktik yang ada dalam masyarakat.

Tema

  • Kritik terhadap Normatif dan Praktik Sosial: Puisi ini mengkritik ketidakcocokan antara norma-norma sosial dan praktik yang berlaku di masyarakat. Melalui perbandingan antara "adu hewan" dan "adu manusia," Taufiq Ismail menunjukkan adanya pergeseran etika dari masa lalu ke masa kini. Dalam puisi ini, peraturan yang dulu dianggap kuno dan tidak etis kini tampaknya masih relevan dengan konteks zaman merdeka yang diatur oleh Pancasila. Ini menunjukkan adanya ketidakselarasan dalam penerapan nilai-nilai moral dan etika dalam praktik sosial.
  • Ketidakpastian Moral dan Etika: Penulis menggambarkan kebingungan dan frustrasi terhadap situasi ini dengan mengungkapkan keinginannya untuk bertanya kepada Hakim Agung Bismar Siregar, namun terhambat oleh ketidaktahuan nomor telepon. Ini mencerminkan ketidakpastian dan kebingungan penulis terhadap pergeseran nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat, serta kesulitan dalam mencari jawaban yang memadai.
  • Kritik terhadap Kepatuhan Terhadap Aturan: Puisi ini juga mengkritik kepatuhan terhadap aturan dan peraturan yang tampaknya tidak selalu mencerminkan etika dan moral yang sebenarnya. Dengan menunjukkan bahwa tontonan pembantaian manusia dibolehkan, Taufiq Ismail mempertanyakan legitimasi aturan dan peraturan yang ada, serta menyoroti ketidakadilan dan kemunafikan yang mungkin ada dalam penerapan aturan tersebut.

Gaya Bahasa dan Teknik

  • Ironi dan Sarkasme: Gaya bahasa dalam puisi ini sarat dengan ironi dan sarkasme. Penggunaan frasa seperti "Adu manusia, katanya / Bahkan tontonan pembantaian manusia / Dibolehkan oleh etika, agama, akal waras" menunjukkan kontras yang tajam antara apa yang dianggap etis dan apa yang dipraktikkan dalam kenyataan. Ironi ini menambah kedalaman kritik terhadap norma-norma sosial dan hukum yang ada.
  • Sederhana namun Kuat: Bahasa dalam puisi ini sederhana namun kuat, dengan struktur yang langsung dan to the point. Penggunaan kalimat-kalimat pendek dan langsung menguatkan pesan kritis penulis dan menambah efek dramatis dari puisi.
  • Penggunaan Persona: Penulis menggunakan persona "aku" yang bingung dan frustrasi untuk menyampaikan pesan-pesannya. Persona ini menggambarkan keraguan dan ketidakpastian individu dalam menghadapi ketidakselarasan antara norma dan praktik, serta kesulitan dalam menemukan jawaban atau solusi.
  • Referensi Kontemporer: Dengan menyebutkan "Pak Bismar" dan mengaitkan masalah dengan konteks zaman merdeka dan Pancasila, Taufiq Ismail menghubungkan isu-isu moral dan etika dengan realitas kontemporer. Ini menambah relevansi puisi dengan situasi sosial dan politik saat ini.

Makna dan Refleksi

  • Pergeseran Nilai: Puisi ini mencerminkan ketidakpastian yang timbul akibat pergeseran nilai-nilai dari masa lalu ke masa kini. Dengan membandingkan norma-norma kuno dan praktik modern, Taufiq Ismail menunjukkan bagaimana nilai-nilai etika dan moral bisa berubah seiring waktu, tetapi seringkali tidak sesuai dengan penerapan praktis dalam masyarakat.
  • Kritik terhadap Sistem Hukum dan Sosial: Melalui kritik terhadap aturan yang memperbolehkan praktik-praktik yang dianggap tidak etis, puisi ini menyoroti adanya kemungkinan kekurangan dalam sistem hukum dan sosial. Ini mengajak pembaca untuk merenungkan apakah peraturan yang ada benar-benar mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang diinginkan.
  • Frustrasi Individu: Perasaan frustrasi dan kebingungan yang dirasakan persona "aku" mencerminkan kesulitan individu dalam memahami dan mengatasi ketidakpastian dalam norma-norma sosial dan hukum. Ini menunjukkan bagaimana perubahan sosial dan politik dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpuasan di tingkat pribadi.
Puisi "Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya yang penuh dengan kritik sosial dan refleksi mendalam. Dengan menggunakan ironi dan sarkasme, Taufiq Ismail mengeksplorasi ketidakselarasan antara norma-norma etika dan praktik sosial yang berlaku. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan pergeseran nilai-nilai, ketidakadilan dalam sistem hukum, dan frustrasi individu dalam mencari makna dan keadilan di tengah-tengah ketidakpastian sosial.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.